Pertimbangan utama suatu
negara mengoptimalkan peran investasi baik asing maupun dalam negeri adalah
untuk merubah potensi ekonomi menjadi kekuatan ekonomi riil dalam rangka
meningkatkan pertumbuhan ekonomi (economic growth). Peran investasi
tidak hanya sebagai alternatif terbaik sumber pembiayaan pembangunan apabila
dibandingkan dengan pinjaman luar negeri, tetapi juga sangat penting sebagai
alat untuk mengintegrasikan ekonomi suatu negara kedalam ekonomi global. Di
samping itu, investasi dapat menghasilkan multiplayer effect terhadap
pembangunan ekonomi nasional, karena kegiatan investasi tidak saja mentransfer
modal dan barang, tetapi juga mentransfer ilmu pengetahuan dan modal sumber
daya manusia, memperluas lapangan kerja, mengembangkan industri substitusi
impor untuk menghemat devisa, mendorong ekspor non migas untuk menghasilkan
devisa, alih teknologi, membangun prasarana, dan mengembangkan daerah
tertinggal. Oleh karena itu banyak negara, tidak terkecuali Indonesia, yang
menjadikan kegiatan investasi sebagai bagian dari penyelenggaraan perekonomian
nasionalnya.
Target pertumbuhan ekonomi
sebesar 7.9% hingga 2009 yang ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia menjadikan
peran investasi menjadi kian penting, mengingat tingkat konsumsi dalam negeri
saat ini tidak akan mampu menciptakan lapangan kerja yang cukup. Hal ini jelas
memberikan tekanan kepada Indonesia untuk menarik lebih banyak investasi baru,
khususnya dari luar negeri, guna menutup kekurangan.
Untuk mengundang minat
investor berinvestasi bukanlah hal yang semudah membalikkan telapak tangan.
Diperlukan upaya yang serius, sistimatik, terintegrasi dan konsisten untuk
menanamkan kepecayaan investor menanamkan modalnya di wilayah host country. Bagaimana
pun juga harus diingat bahwa pertimbangan investor sebelum menanamkan modal
selalu dilandasi motivasi ekonomi untuk menghasilkan keuntungan dari modal dan
seluruh sumber daya yang dipergunakannya. Oleh karena itu, investor selalu
melakukan kajian awal (feasibility study) baik terhadap aspek ekonomi,
politik dan aspek hukum sebelum mengambil keputusan untuk berinvestasi untuk
memastikan keamanan investasi yang akan dilakukannya. Terkait hal ini,
setidak-tidaknya calon investor akan mempertimbangkan aspek economic
opportunity, political stability dan legal certainty.8 Ketiga aspek
ini pulalah yang menjadi syarat mutlak yang harus ada pada host country agar
menarik bagi calon investor.
Cukup banyak analisis dan
publikasi-publikasi tentang kondisi iklim investasi di Indonesia yang pada
umumnya bermuara pada suatu kesimpulan yang sangat mengkhawatirkan tentang
kondusifitas berinvestasi di Indonesia. Djisman S. Simanjuntak misalnya
menyoroti gangguan keamanan, amuk penjarahan, ketidakpastian hukum, korupsi dan
perselisihan perburuhan bergabung untuk memudarkan daya tarik Indonesia ketika
di tempat-tempat lain muncul lokasi-lokasi yang bersinar cerah, khususnya Cina
yang bersaing dengan Indonesia dalam kelompok-kelompok industri yang sama atau
mirip. Pandangan lain disampaikan oleh Todung Mulya Lubis yang menyatakan bahwa
selain kurang memadainya infrastruktur investasi, maka hambatan utama investasi
di Indonesia adalah masalah kepastian hukum. Dikatakan bahwa pengadilan di
Indonesia khususnya Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi sering dengan
sengaja atau tidak mengabaikan isi perjanjian yang berlaku di antara pihak
terkait, termasuk dalam sejumlah kasus di mana transaksi sudah dilaksanakan.
Sikap lembaga peradilan yang kurang menghargai keabsahan kontrak kerja sama itu
memberi sinyal negatif atas komitmen Indonesia dalam melaksanakan reformasi
hukum dan penegakan keadilan. Sejumlah kasus, termasuk Manulife, Prudential, PT
Danareksa Jakarta, PT Tripolyta, dan Asia Pulp & Paper serta anak
perusahaannya, di Indonesia menggambarkan ketidakpedulian lembaga pengadilan
terhadap legitimasi transaksi komersial yang dibuat berdasar perjanjian
internasional. Kondisi ini menimbulkan dampak besar terhadap tingkat risiko
Indonesia di pasar modal internasional dan atas arus modal langsung.10 Masih
terkait dengan masalah kepastian hukum, Mc. Cawley menggambarkan kondisi
kepastian hukum investasi di Indonesia sebagai berikut :
“Tiap regulasi sepertinya
menimbulkan regulasi uraian yang lain sehingga pada akhirnya para pejabat
rendah di kantor-kantor daerah dan pelabuhan merasa bebas-bahkan harus-
menetapkan hal yang samara-samar dengan mengeluarkan regulasinya sendiri.
Situasi yang biasanya tidak memuaskan ini sering kali dicampuri dengan tendensi
pejabat senior untuk menerobos semua pita merah dan kelambatan dengan
memberikan pembebasan dari peraturan atau dengan membuat keputusan umum sebagai
undang-undang “yang dikehendaki”. Ketika ini terjadi seringkali tidak jelas apakah
mereka mengungkapkan pernyataan mereka sendiri atau benar-benar menerapkan
peraturan pemerintah.”
Pemerintah cukup memahami
kondisi iklim investasi tersebut dan telah melakukan upaya-upaya kearah
perbaikan. Bahkan upaya yang terakhir dilakukan cukup fundamental yakni dengan
mengeluarkan undang-undang yang baru, UU No. 25 Tahun 2007, untuk menggantikan
UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan UU No. 6 Tahun 1968
tentang Penanaman Modal Dalam Negeri karena dipandang tidak sesuai lagi dengan
kebutuhan percepatan perkembangan perekonomian dan pembangunan hukum nasional,
khususnya di bidang penanaman modal. Pasal 3 UU ini secara pasti mencantumkan
asas kepastian hukum pada urutan pertama dari 10 asas penyelenggaraan penanaman
modal di Indonesia. Hadirnya UU penanaman modal yang baru dengan paradigma baru
merupakan langkah maju yang cukup signifikan dalam menarik minat investor.
Namun meskipun demikian kehadiran UU No. 25 Tahun 2007 tersebut tidak serta
menjadikan seluruh permasalahan hukum bidang penanaman modal di Indonesia
menjadi terselesaikan. Kegiatan penanaman modal bersifat sangat kompleks dan
karenanya tidak hanya terkait dengan satu undang-undang saja. Hukum tentang
penanaman modal tidak hanya terkait UU No. 25 Tahun 2007 dan peraturan pelaksananya,
tetapi juga akan terkait dengan bidang hukum lain seperti hukum perpajakan,
hukum ketenagakerjaan, hukum pertanahan, hukum perdagangan dan bidang hukum
lain terkait transaksi bisnis baik berdimensi nasional maupun internasional.
Kepastian hukum harus meliputi seluruh bidang hukum terkait penanaman modal
tersebut dan penerapannnya dalam putusan-putusan badan peradilan di Indonesia.
Dengan demikian kepastian hukum tidak saja meliputi kepastian substansi hukum
tetapi juga penerapannya dalam putusan-putusan badan peradilan.
B. Kepastian Hukum sebagai
Pertimbangan Utama Investor
Horikawa Shuji, salah seorang
pengusaha asal Jepang menjelaskan pertimbangan investasi sebagai aliran air.
Air selalu mengalir dari tempat yang paling tinggi ke tempat yang paling
rendah. Apapun alasannya, pelaku bisnis selalu mencari itu, sebab pengusaha itu
butuh ketenangan berusaha, berharap mendapat insentif yang memadai dari
pemerintah dimana ia berinvestasi dan memperoleh peluang untuk berkembang
dengan lingkungannya, dengan karyawannya dan dengan mitranya secara baik. Tanpa
itu, sulit bagi pelaku bisnis untuk berkembang.14 Apa yang bisa membuat
investor merasa tenang dalam berusaha adalah adanya kepastian hukum, karena
dengan kepastian hukum investor dapat melakukan sejumlah prediksi terhadap
rencana usaha yang dilakukannya.
Dengan
demikian selain faktor politik ekonomi dan politik, faktor lain yang menjadi
pertimbangan bagi investor untuk menanamkan modalnya adalah masalah kepastian
dan prediktabilitas hukum. Pendapat senada dikemukakan oleh Paul V. Horn dan
Henry Gomez sebagai berikut :
“ In making foreign
investment a number of important points are to be taken into consideration. The
Investor is concerned, first, with the safety of his investment and, second,
with the return which it yields. The factors having a direct bearing on
these considerations may be classified as follows : (1). Political stability
and financial integrity in the borrowing or host country; (2) purpose for which
the investment is made ; (3) laws pertaining to capital and taxation, attitude
towards foreign investment, and other aspects of the investment climate of the
host country; (4) future potential and economic growth of the country where the
investment is made; (5) exchange restrictions pertaining to the remission of
profits and with-drawal of the initial investment.”
Berdasarkan
pandangan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa bila suatu negara ingin menjadi
tujuan investasi, maka hukum terkait prosedural dan kegiatan investasi harus
dapat menciptakan kepastian. Namun berbeda dengan kondisi ideal tersebut,
hampir setiap kajian mengenai iklim investasi di Indonesia menempatkan
ketidakpastian hukum sebagai faktor yang menghambat pertumbuhan investasi baik
asing maupun dalam negeri, baik investasi langsung (direct investment) maupun
portfolio investment. Studi Bank Dunia yang dipublikasikan tahun 2005
mencatat bahwa pada tataran perusahaan (firm level) ditemukan sejumlah
hambatan investasi yang masuk dalam kategori instabilitas makro-ekonomi, kebijakan
dan regulasi yang tidak pasti dan tingginya tingkat korupsi. Masalah lainnya
meliputi rendahnya atau sulitnya akses terhadap pembiayaan, rendahnya supplay
energi listrik, rendahnya skill tenaga kerja, regulasi bidang ketenagakerjaan,
dan sejumlah persoalan terkait desentralisasi kewenangan investasi pada tingkat
pemerintahan daerah.16 Lebih jauh dikatakan bahwa Pemerintah Indonesia telah
melakukan sejumlah upaya reformasi yang cukup strategis dengan mengadopsi lebih
banyak reformasi fiscal, liberalisasi perdagangan, reformasi sektor keuangan,
perpajakan, ketenagakerjaan dan reformasi regulasi bisnis. Namun yang menjadi
permasalahan adalah adanya jurang (gap) antara political will Pemerintah
dengan implementasi di lapangan, termasuk adanya gap antara peraturan
dengan kenyataan penerapannya.17 Pasal 3 UU No. 25 Tahun 2007 menempatkan asas
kepastian hukum dalam posisi teratas dari 10 asas penyelenggaran penanaman
modal di Indonesia. Asas ini menekankan pada kedudukan Indonesia sebagai negara
hukum yang meletakkan hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai
dasar dalam setiap kebijakan dan tindakan dalam bidang penanaman modal. Namun,
masalah kepastian hukum dalam penyelenggaraan investasi tidak seluruhnya
ditentukan oleh kaidah-kaidah hukum dalam UU tersebut. Kepastian hukum dalam
pengertian substansi harus pula didukung pula oleh substansi hukum pada bidang
hukum bisnis lainnya dan ditentukan pula aspek kepastian dalam struktur
penegakan hukum. Dalam hal yang terakhir ini penerapan kaidah hukum dan
peraturan perundang-undangan terkait investasi dalam peristiwa konkrit melalui
putusan-putusan badan peradilan menjadi faktor sorotan adanya kepastian hukum.
Pada perspektif ini dunia peradilanlah yang memberikan citra pada kepastian
hukum tersebut.
Kepastian Hukum dalam
Transaksi Bisnis Masih Menjadi Faktor Penghambat Investasi di Indonesia
Dalam hukum investasi,
aktifitas investasi tidak hanya meliputi tahap entry appropal (right to
entry) atau yang biasa dikenal dengan istilah green field investment, tetapi
investor juga akan memperhatikan aspek kepastian hukum pada tahap post
establishment stage atau brown field investment. Pada fase ini
investor sangat perhatian terhadap sisi stabilitas, prediktibilitas dan
kepastian hukum terkait aktifitas usaha, hukum kontrak dan transaksi bisnis
pada umumnya. Hal ini sesuai dengan kategori komponen-komponen yang
mempengaruhi investasi, yakni : (1). Kebijakan pemerintah yang mempengaruhi cost
seperti pajak, beban regulasi, pungutan liar (red tape), korupsi,
infrastruktur, ongkos operasi, investasi perusahaan (finance cost) dan
investasi di pasar tenaga kerja; (2). Kelompok yang mempengaruhi risiko yang
terdiri dari stabilitas makro ekonomi, stabilitas dan prediktibilitas
kebijakan, property right, kepastian kontrak dan hak untuk mentransfer
keuntungan dan (3). Hambatan untuk kompetisi yang terdiri dari hambatan
regulasi untuk masuk dan keluar dari bisnis, berfungsinya pasar keuangan dan
infrastruktur yang baik, serta tersedianya dengan efektif hukum persaingan.
Kepastian hukum dalam
transaksi dan kontrak-kontrak bisnis di Indonesi masih rendah dan sangat
mempengaruhi minat investor. Hal ini tercermin dari banyaknya kontrak antara
investor asing dan pihak Indonesia, baik pelaku usaha, badan usaha milik negara
maupun pemerintah yang dibatalkan atau terancam dibatalkan oleh pengadilan.
Pembatalan kontrak oleh pengadilan yang kerap ditengarai adanya praktik mafia
peradilan ataupun ketidakpahaman substansi kontrak berakibat pada terkendalanya
investasi yang dilakukan. Banyak investor jangka panjang yang menanamkan
modalnya harus kecewa karena baru dua tiga tahun berjalan,kontrak dibatalkan
oleh pengadilan. Secara perhitungan ekonomi jelas ini sangat merugikan
mengingat sebelum keuntungan didapat, bahkan break even point tercapai,
kontrak dianggap tidak ada karena dibatalkan. Kesucian kontrak (sanctity of
contract) seolah tidak berlaku di Indoensia.19 Investor sering mengalami
kesulitan dalam menyelesaikan perjanjian kontrak dan pembayaran ketika
mengikuti sistem hukum di Indonesia. Aneka keputusan persidangan sering tidak
konsisten dalam menilai fakta dan bukti-bukti yang tersedia. Selain itu, pengadilan di Indonesia khususnya
Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi sering dengan sengaja atau tidak
mengabaikan isi perjanjian yang berlaku di antara pihak terkait, termasuk dalam
sejumlah kasus di mana transaksi sudah dilaksanakan. Sikap lembaga peradilan
yang kurang menghargai keabsahan kontrak kerja sama itu memberi sinyal negatif
atas komitmen Indonesia dalam melaksanakan reformasi hukum dan penegakan
keadilan. Sejumlah kasus, termasuk Manulife, Prudential, PT Danareksa Jakarta,
PT Tripolyta, dan Asia.
Kepastian Hukum dalam
Transaksi Bisnis Masih Menjadi Faktor Penghambat Investasi di Indonesia
Dalam hukum investasi, aktifitas
investasi tidak hanya meliputi tahap entry appropal (right to entry) atau
yang biasa dikenal dengan istilah green field investment, tetapi
investor juga akan memperhatikan aspek kepastian hukum pada tahap post
establishment stage atau brown field investment. Pada fase ini
investor sangat perhatian terhadap sisi stabilitas, prediktibilitas dan
kepastian hukum terkait aktifitas usaha, hukum kontrak dan transaksi bisnis
pada umumnya. Hal ini sesuai dengan kategori komponen-komponen yang
mempengaruhi investasi, yakni : (1). Kebijakan pemerintah yang mempengaruhi cost
seperti pajak, beban regulasi, pungutan liar (red tape), korupsi,
infrastruktur, ongkos operasi, investasi perusahaan (finance cost) dan
investasi di pasar tenaga kerja; (2). Kelompok yang mempengaruhi risiko yang
terdiri dari stabilitas makro ekonomi, stabilitas dan prediktibilitas
kebijakan, property right, kepastian kontrak dan hak untuk mentransfer
keuntungan dan (3). Hambatan untuk kompetisi yang terdiri dari hambatan
regulasi untuk masuk dan keluar dari bisnis, berfungsinya pasar keuangan dan
infrastruktur yang baik, serta tersedianya dengan efektif hukum persaingan.
Kepastian hukum dalam
transaksi dan kontrak-kontrak bisnis di Indonesi masih rendah dan sangat
mempengaruhi minat investor. Hal ini tercermin dari banyaknya kontrak antara
investor asing dan pihak Indonesia, baik pelaku usaha, badan usaha milik negara
maupun pemerintah yang dibatalkan atau terancam dibatalkan oleh pengadilan.
Pembatalan kontrak oleh pengadilan yang kerap ditengarai adanya praktik mafia
peradilan ataupun ketidakpahaman substansi kontrak berakibat pada terkendalanya
investasi yang dilakukan. Banyak investor jangka panjang yang menanamkan
modalnya harus kecewa karena baru dua tiga tahun berjalan,kontrak dibatalkan
oleh pengadilan. Secara perhitungan ekonomi jelas ini sangat merugikan
mengingat sebelum keuntungan didapat, bahkan break even point tercapai,
kontrak dianggap tidak ada karena dibatalkan. Kesucian kontrak (sanctity of
contract) seolah tidak berlaku di Indoensia.19 Investor sering mengalami
kesulitan dalam menyelesaikan perjanjian kontrak dan pembayaran ketika
mengikuti sistem hukum di Indonesia. Aneka keputusan persidangan sering tidak
konsisten dalam menilai fakta dan bukti-bukti yang tersedia.
Selain itu, pengadilan di Indonesia
khususnya Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi sering dengan sengaja atau
tidak mengabaikan isi perjanjian yang berlaku di antara pihak terkait, termasuk
dalam sejumlah kasus di mana transaksi sudah dilaksanakan. Sikap lembaga
peradilan yang kurang menghargai keabsahan kontrak kerja sama itu memberi
sinyal negatif atas komitmen Indonesia dalam melaksanakan reformasi hukum dan
penegakan keadilan. Sejumlah kasus, termasuk Manulife, Prudential, PT Danareksa
Jakarta, PT Tripolyta, dan Asia Pulp & Paper serta anak perusahaannya, di
Indonesia menggambarkan ketidakpedulian lembaga pengadilan terhadap legitimasi
transaksi komersial yang dibuat berdasar perjanjian internasional. Kondisi ini
menimbulkan dampak besar terhadap tingkat risiko Indonesia di pasar modal
internasional dan atas arus modal langsung.20 Terintegrasinya ekonomi Indonesia
dengan perekonomian dunia mendorong terjadinya internasionalisasi aktifitas
bisnis yang kemudian menyebabkan beragamnya jenis transaksi bisnis. Para pelaku
bisnis di Indonesia akan berhadapan dalam satu kontrak transaksi bisnis dengan
mitra bisnis yang tidak saja berbeda sistem hukum nasionalnya tetapi juga
berbeda kultur hukum.
Transaksi bisnis
internasional pada umumnya didasarkan pada kontrak yang telah disepakati oleh
para pihak. Dengan adanya kontrak yang mengikat tersebut melahirkan keyakinan
para pihak terhadap ekspektasi yang akan didapatkannya dari pelaksanaan kontrak
tersebut. Dan untuk harapan tersebut para pihak bersedia menggunakan sumber
daya yang dimilikinya sebagai imbalan harapan yang diinginkan tersebut. Untuk
memastikan harapan para pihak tersebutlah kontrak yang diikat tidak saja
sebagai sumber kewajiban moral, tetapi juga kewajiban hukum yang pelaksanaannya
wajib ditaati.21 Sebagai konsekwensinya, maka hakim maupun pihak ketiga tidak
boleh mencampuri isi perjanjian yang dibuat oleh para pihak tersebut.
Bagi mitra bisnis yang
berasal dari negara dengan kultur litigious kontrak adalah sesuatu yang suci
dan harus dihormati, karena secara filosofis kontrak adalah perwujudan dari
keinginan/ pilihan bebas manusia bermartabat. Pembatalan kontrak oleh pihak
lain yang bertentangan dengan isi perjanjian adalah tindakan yang tidak
rasional dan mencerminkan hilangnya perhargaan terhadap pilihan bebas manusia.
Jika hal ini terus dibenarkan, maka fungsi predictability hukum akan
hilang dan keadaan ini sama sekali tidak kondusif bagi kegiatan investasi. Ketidakpastian hukum dalam transaksi bisnis
sangat mempengaruhi keinginan investor berinvestasi, setidaknya karena dua hal
: Pertama, tidak ada kegiatan investasi yang dapat dilaksanakan tanpa
melakukan transaksi bisnis. Dengan kata lain kegiatan investasi adalah bagian
dari transaksi bisnis (internasional. Kedua, karena pola internalisasi
perusahaan-perusahaan multinasional yang selalu didahului oleh aktifitas
transaksi bisnis internasional (khususnya perdagangan internasional). sebagian
besar dari perusahaan multinasional cenderung untuk membangun aktifitas mereka
di luar negeri dalam sebuah rentetan kegiatan yang terstruktur, khususnya
dimulai dari ekspor, kemudian membangun sebuah kantor kecil perwakilan untuk
menambah kekuatan penjualan, pemasaran dan distribusi operasi, dan pada
akhirnya membangun sebuah investasi langsung dalam bentuk fasilitas produksi.
internasional yang liberal dapat menciptakan iklim yang lebih menarik bagi
perusahaan multinasional untuk memulai kegiatan ekspor mereka di negara host
country. Peluang ini harus dimanfaatkan oleh host country dengan
tersedianya rejim investasi yang bebas, jika tidak kemungkinan tahapan terakhir
dari urutan strategi pengembangan bisnis perusahaan multinasional, yakni
melakukan investasi langsung, akan dilakukan ke negara lain yang lebih dapat
menjamin kepastian investasi mereka.
Kepastian Hukum dalam
Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing terkait Transaksi Bisnis
Penyelesaian sengketa
transaksi bisnis umumnya dilakukan secara konvensional melalui litigasi, akan
tetapi implikasi kegiatan bisnis yang pesat terhadap lembaga hukum berakibat
juga terhadap pengadilan, dimana pengadilan sering dianggap tidak professional
dalam menangani sengketa bisnis dan tidak independen.25 Bagi kenayakan pelaku
transaksi bisnis internasional, penyelesaian sengketa melalui pengadilan
dianggap tidak efektif dan efisien lagi serta memerlukan waktu yang relative
lama. Di samping itu, penyelesaian sengketa melalui pengadilan menempatkan para
pihak pada sisi yang bertolak belakang, satu pihak sebagai pemenang (winner)
dan pihak lain sebagai pihak yang kalah (looser). Hal ini kerap
dipandang tidak menyelesaikan masalah bahkan semakin memperuncing perselisihan
dan akhirnya terjadi permusuhan yang tidak berkesudahan. 26 Oleh karena
itu, arbitrase lahir sebagai alternatif penyelesaian sengketa yang dinilai
efisien dan efektif bagi transaksi bisnis, khususnya yang bernuansa
internasional.
Banyak faktor yang mendorong
para pelaku transaksi bisnis internasional memilih arbitrase, diantaranya
adalah karena putusan arbitrase bersifat final and binding dan karenanya
cenderung siap untuk dilaksanakan, dan sifat arbitrase yang menjamin netralitas
Dewan Arbitrase yang dipilih para pihak, artinya tidak mempunyai national
character. Kedua alasan ini selalu menjadi pertimbangan pihak asing yang
melakukan transaksi bisnis di Indonesia. Pertimbangan pertama lebih mengarah
pada aspek kepastian hukum, dan pertimbangan kedua lebih ditujukan untuk
menghindari kemungkinan terjadi nasionalisme sempit pada hakim pengadilan
nasional.
Dalam
sisitim hukum di Indonesia, karakteristik final and binding pada putusan
arbitrase diakui secara imperative dalam Pasal 60 UU No. 30 Tahun 1999, karena
tidak terbuka upaya hukum banding, kasasi maupun peninjauan kembali terhadap
putusan tersebut. Namun pada kenyataannya, terdapat sengketa transaksi bisnis
internasional yang telah diputus oleh badan arbitrase, khususnya badan
arbitrase internasional, justru menimbulkan kontroversi dan pelaksanaan.
Sumber : usu.ac.id