Sabtu, 14 Juli 2012

SEGI HUKUM BISNIS DALAM KEBIJAKAN PRIVATISASI BUMN MELALUI PENJUALAN SAHAM DI PASAR MODAL INDONESIA



Perekonomian Indonesia yang tersimpul dalam Pasal 33 UUD 1945 sebenarnya merupakan demokrasi ekonomi, yaitu perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan. Pasal 33 UUD 1945 tersebut merupakan suatu yang sangat penting sehingga pasal tersebut menjadikan dasar dan titik tolak bagi pembangunan ekonomi. Menurut Ibrahim R. (1996) negara harus dibentuk secara demokratis dan melalui kelembagaan politik yang demokratis dan biasanya sistim
politik ekonomi selalu dikaitkan dengan sistem masyarakat yang demokratis.
Dengan demikian negara mempunyai peran dan tanggung jawab normatif dalam berbagai bidang kehidupan. Dalam bidang ekonomi dibentuklah perusahaan negara yang lebih populer dengan nama Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Undang-undang No. 9/1969 yang memperbaiki Inpres No. 17 Tahun 1967 membagi BUMN menjadi tiga, yaitu: Perusahaan Jawatan (Perjan), Perusahaan Umum (Perum) dan Perusahaan Perseroan (Persero) 3.
Kecenderungan yang mendasari pembentukan BUMN pada awalnya adalah pemerintah mempunyai kemampuan untuk menghasilkan sendiri barang dan jasa serta mendistribusikannya di pasar. Kondisi ini mendorong intervensi pemerintah dalam operasional BUMN menjadi dominan. Inkonsistensi dan ketidakjelasan ini selanjutnya membawa dampak infleksibilitas operasional, lingkungan kerja yang pasif dan kurang kreatif, lebih patuh pada prosedur pemerintah daripada menjalankan norma berbisnis, transaksi biaya yang tinggi dan akhirnya terjadi inefisiensi  .
Tujuan ekonomi nasional berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 adalah kesejahteraan sosial dan kemakmuran bagi rakyat banyak. Implementasi Pasal 33 UUD 1945 ini telah diwujudkan dalam TAP MPR Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1999 – 2004 menyatakan, bahwa “…menata BUMN secara efisien, transparan, dan profesional terutama yang usahanya berkaitan dengan kepentingan umum yang bergerak dalam penyediaan fasilitas publik, industri, pertahanan dan keamanan, pengelolaan aset strategis, dan kegiatan usaha lainnya yang tidak dilakukan oleh swasta dan koperasi. Keberadaan dan pengelolaan BUMN ditetapkan undang-undang. Menyehatkan BUMN terutama yang usahanya berkaitan dengan kepentingan umum. Bagi BUMN yang usahanya tidak berkaitan dengan kepentingan umum didorong untuk privatisasi melalui pasar modal”.
Untuk mencapai sasaran di atas, diperlukan berbagai sarana penunjang antara lain berupa tatanan kelembagaan yang mampu mendorong perkembangan pasar modal di Indonesia. Dalam hal ini hukum tidak saja berfungsi memberikan arahan, tetapi juga berperan untuk menjamin agar perubahan berjalan dengan tertib dan teratur.
Lahirnya UU Noomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal dimaksudkan untuk memberikan landasan hukum yang kokoh bagi pengembangan pasar modal, sekaligus menjamin kepastian hukum bagi pihak-pihak yang melakukan kegiatan di pasar modal serta melindungi masyarakat pemodal atau investor 7. Berinvestasi di pasar modal pada hakikatnya sama dengan investasi-investasi lainnya yakni 
memberikan nilai tambah pada. modal yang diinvestasikan8. Nilai tambah tersebut dapat berupa capital gain, dividen, bunga atau keikutsertaan dalam perusahaan melalui hak suara dalam RUPS9. Oleh karena itu diperlukan dasar hukum yang menjamin agar pemodal memperoleh hak-hak yang memang seharusnya diperoleh.
Dengan disyahkannya UU No. 19 Tahun 2003 Tentang BUMN pada tanggal 20 Mei 2003, maka dapat digunakan sebagai dasar hukum dalam pengelolaan dan pengawasan BUMN. Penerapan UU BUMN dapat dijadikan momentum penting kebijakan pembinaan BUMN oleh pemerintah, political will, komitmen dan konsistensi kebijakan dan penerapan tata kelola BUMN sebagai perusahaan atau good corporate governance (GCG) menjadi ukuran keseriusan pemerintah dan parlemen (DPR) dalam mengembangkan bisnis BUMN secara konsisten dan profesional. Sebagai dasar hukum yang kuat sebenarnya UU No. 19 Tahun 2003 dapat dijadikan paying hukum yang ampuh bagi pemerintah untuk melaksanakan amanah kebijakan privatisasi BUMN sehingga tujuan utama BUMN sebagai perseroan dapat tercapai yaitu stakeholders maximation (kesejahteraan untuk pemegang saham, konsumen, karyawan dan pemerintah). Akan tetapi proses sosialisasi UU BUMN itu sendiri belum dirasakan oleh masyarakat sehingga dipertanyakan komitmen pimpinan pemerintahan terhadap implementasi UU BUMN tersebut mengingat paska sosialisasi maka pada bulan Juni 2004 secara efektif UU BUMN harus diterapkan secara operasional di Indonesia.

Dasar Hukum Bisnis Kebijakan Privatisasi di Indonesia
 Dasar hukum bisnis yang kuat dan didukung oleh peraturan-peraturan operasional menjadi syarat mutlak keberhasilan suatu kebijakan negara. Kebijakan privatisasi BUMN harus didukung oleh dasar hukum dan peraturan-peraturan mengingat kebijakan ini merupakan terobosan cepat (short cut policy) dalam mengurangi dan melepaskan politisasi BUMN yang sering menghambat kinerja manajemen BUMN. Kebijakan ini diharapkan dapat memberikan implikasi yang signifikan terhadap perubahan structure – conduct – performance BUMN di Indonesia yang semula bersifat birokratis menjadi bersifat kewirausahaan (enterpreneurship) dan sadar biaya (cost conscious).
 Metode privatisasi yang paling populer adalah penawaran umum atau initial public offering (IPO) kepada masyarakat melalui pasar modal baik domestik maupun internasional. Kelebihan dari mekanisme IPO adalah memungkinkan terwujudnya usaha transparansi dan pengawasan masyarakat (public security) karena pasar modal dimanapun akan mensyaratkan setiap perusahaan go public. Dengan memakai salah satu metode privatisasi BUMN yaitu initial public offering (IPO) maka BUMN harus menjual sahamnya di pasar perdana (primary market).
Sekurangnya terdapat 17 (tujuh belas) dasar hukum bisnis dan peraturan-peraturan yang berkaitan langsung dengan kebijakan restrukturisasi dan privatisasi BUMN yang terdiri dari 11 (sebelas) dasar hukum dan 6 (enam) peraturan perundangan, adapun urutannya sbb: (1) UUD 1945 Pasal 33; (2) TAP MPR No. IV/MPR/1999 (Bab IV Arah Kebijakan Poin B Ekonomi No. 28); (3) TAP MPR No. X/MPR/2001 Tentang Laporan Putusan MPR oleh Lembaga Tinggi Negara pada sidang Tahunan MPR Tahun 2001; (4) UU No. 25 Tahun 2000 Tentang Propenas Tahun 2000 – 2004; (5) UU No. 19 Tahun 2001 Tentang Repeta; (6) UU No. 17 Tahun 2001 Tentang Keuangan Negara; (7) UU No. 19 Tahun 2003 Tentang BUMN; (8) UU No. 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas; (9) UU No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan; (10) UU No. 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia; (11) UU No. 4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan; (12) PP No. 27/1998 tentang Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan PT; (13) PP No. 64/2001 tentang Pengalihan Tugas Menkeu pada BUMN kepada Meneg. BUMN; (14) Keppres No. 122 Tahun 2001, yang diubah dengan Keppres No. 7 Tahun 2002 Tentang Tim Kebijakan Privatisasi; (15) Keppres No.61/1998 tentang Lembaga Pembiayaan (16) Kepmen BUMN No. 35/MBUMN/ 2001 tanggal 27 Nopember 2001 Tentang Prosedur Privatisasi BUMN; (17) Kepmen BUMN No. 117/MBUMN/2002 tentang Penerapan Praktek Good Corporate Governance pada BUMN.
Bila metode kebijakan privatisasi BUMN adalah IPO maka diluar 17 (tujuh belas) undang-undang dan peraturan yang terkait langsung dalam kebijakan privatisasi BUMN terdapat tambahan 6 (enam) UU dan peraturan perundang-undangan yang terkait langsung dengan program privatisasi BUMN melalui penjualan saham di pasar modal Indonesia. Dasar hukum bisnis dan peraturan-peraturan ini juga berlaku sama (equal) bagi perusahaan-perusahaan yang akan melakukan go public, yaitu: (1) UU No. 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal; (2) Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer); (3) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP); (4) UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak sehat; (5) Peraturan Pemerintah No. 46/1995 Tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Pasar Modal; (6) Peraturan Pemerintah No.46/1995 Tentang Tatacara Pemeriksaan di Pasar Modal.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (PT)
Bidang ekonomi yang pesat perkembangannya menuntut adanya perubahan- perubahan ke arah lebih baik dalam berbagai sektor. Perseroan Terbatas (PT) merupakan salah satu bentuk perusahaan di Indonesia yang cukup memegang peranan penting bagi pembangunan nasional. PT muncul sebagai suatu perusahaan yang paling banyak mengendalikan kegiatan perekonornian baik itu industri kecil ataupun industri raksasa. Hal ini dikarenakan bentuk badan hukumnya yang cukup mudah dan menguntungkan. PT merupakan badan hukum yang didirikan atas dasar perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam UU ini serta peraturan pelaksanaannya.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan
Krisis moneter yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 di Indonesia telah mengakibatkan kesulitan terhadap perkembangan perekonomian nasional terutama terhadap kelangsungan hidup dunia usaha. Turunnya nilai tukar rupiah yang sangat drastis terhadap nilai tukar dolar Amerika lebih memperparah situasi perekonomian kita. Dampak negatif dari situasi ini yang menimpa pada pekembangan hidup perusahaan-perusahaan sangat.dirasakan berat terutarna yang berkaitan dengan kemampuan perusahaan tersebut untuk memenuhi kewajiban pembayaran kepada para krediturnya.
Terdorong oleh situasi moneter yang tidak menguntungkan dan banyaknya perusahaan yang ambruk sebagai akibatnya dan perlu penyelesaian utang piutang antara kreditur dan debitur secara adil, cepat dan efektif telah memacu perhatian pemerintah untuk melihat kembali pada ketentuan kepailitan yang dulu dikenal sebagai Faillissement Verordening (S. 1950 No. 217 jo S. 1906 No. 348) dan kemudian menyempurnakannya dengan PERPU No. 1 Th 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Tentang Kepailitan Ketentuan PERPU No. 1 Th 1998 tersebut mulai diberlakukan 120 hari sejak diundangkan (22 April 1998). PERPU ini kemudian diundangkan menjadi UU No 4 Th 1998 ).


HUKUM BISNIS (BUSINESS LAW)

Pengertian Hukum Bisnis
 Perangkat aturan-aturan perilaku yang dianggap paling dapat menjamin sistem perdagangan itu adalah aturan-aturan hukum yang secara sederhana dapat dipahami sebagai:
           
Ø  Suatu tata perkonomian yang sehat akan banyak bergantung pada sistem perdagangan yang sehat pula;
Ø  Sistem perdagangan pada dasarnya selalu dikaitkan dengan upaya manusia untuk memenuhi kebutuhannya akan barang dan jasa (The need of goods and services);
Ø  Upaya manusia untuk memenuhi kebutuhan akan barang dan jasa itu yang dapat disebut sebagai proses produksi;
Ø  Proses produksi dalam masa ini sering diartikan sebagai indirect production, dalam arti orang cenderung memenuhi kebutuhannya dengan bantuan dan kerjasama orang lain, berarti mengandung unsur-unsur spesialisasi dan pemanfaatan surplus;
Ø  Melalui spesialisasi: mengkhususkan diri pada keahlian, keunggulan (Advantage) yang ada pada dirinya;memanfaatkan faktor waktu, sarana dan faktor-faktor produksi lain secara intensif, efisien dan efektif.
Ø  Melalui pemanfaatan surplus orang berusaha untuk memanfaatkan kelebihan hasil produktivitasnya untuk memenuhi kebutuhan orang lain.

Berdasarkan kondisi di atas maka kegiatan perdagangan (Trade) pada dasarnya merupakan kegiatan:
1.      PERTUKARAN BARANG DAN JASA (EXCHANGE OF GOODS AND SERVICES)
Ø  Yang berlangsung dalam kerangka spesialisasi dan pemanfaatan surplus di atas.
Ø  Kegiatan trade ini dipahami sebagai kegiatan bisnis (business) karena:
2.   KEGIATAN “EXCHANGE OF GOODS AND SERVICES” TADI DILAKUKAN DALAM RANGKA MEMPEROLEH KEUNTUNGAN EKONOMIS (ECONOMIC PROFIT) TERTENTU.

KERANGKA DASAR HUKUM BISNIS

¨      Hukum Bisnis adalah seperangkat kaidah-kaidah hukum yang diadakan untuk mengatur dan menyelesaikan persoalan-persoalan dalam aktivitas antas manusia di bidang perdagangan (dalam arti trade and commerce).
¨      Unsur terpenting dalam dalam aktivitas itu adalah persetujuan bisnis/perdagangan di antara para pelaku bisnis (pengusaha, perusahaan-perusahaan, bank, konsumen dsb) mengenai pelbagai transaksi bisnis (produksi, transportasi, penjualan/distribusi dan bahkan konsumsi).

Sumber : muji.unila.ac.id/ahde/bahan/Bahan-1.pptx



KEPASTIAN HUKUM DALAM TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KEGIATAN INVESTASI DI INDONESIA

Pertimbangan utama suatu negara mengoptimalkan peran investasi baik asing maupun dalam negeri adalah untuk merubah potensi ekonomi menjadi kekuatan ekonomi riil dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi (economic growth). Peran investasi tidak hanya sebagai alternatif terbaik sumber pembiayaan pembangunan apabila dibandingkan dengan pinjaman luar negeri, tetapi juga sangat penting sebagai alat untuk mengintegrasikan ekonomi suatu negara kedalam ekonomi global. Di samping itu, investasi dapat menghasilkan multiplayer effect terhadap pembangunan ekonomi nasional, karena kegiatan investasi tidak saja mentransfer modal dan barang, tetapi juga mentransfer ilmu pengetahuan dan modal sumber daya manusia, memperluas lapangan kerja, mengembangkan industri substitusi impor untuk menghemat devisa, mendorong ekspor non migas untuk menghasilkan devisa, alih teknologi, membangun prasarana, dan mengembangkan daerah tertinggal. Oleh karena itu banyak negara, tidak terkecuali Indonesia, yang menjadikan kegiatan investasi sebagai bagian dari penyelenggaraan perekonomian nasionalnya.

Target pertumbuhan ekonomi sebesar 7.9% hingga 2009 yang ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia menjadikan peran investasi menjadi kian penting, mengingat tingkat konsumsi dalam negeri saat ini tidak akan mampu menciptakan lapangan kerja yang cukup. Hal ini jelas memberikan tekanan kepada Indonesia untuk menarik lebih banyak investasi baru, khususnya dari luar negeri, guna menutup kekurangan.

Untuk mengundang minat investor berinvestasi bukanlah hal yang semudah membalikkan telapak tangan. Diperlukan upaya yang serius, sistimatik, terintegrasi dan konsisten untuk menanamkan kepecayaan investor menanamkan modalnya di wilayah host country. Bagaimana pun juga harus diingat bahwa pertimbangan investor sebelum menanamkan modal selalu dilandasi motivasi ekonomi untuk menghasilkan keuntungan dari modal dan seluruh sumber daya yang dipergunakannya. Oleh karena itu, investor selalu melakukan kajian awal (feasibility study) baik terhadap aspek ekonomi, politik dan aspek hukum sebelum mengambil keputusan untuk berinvestasi untuk memastikan keamanan investasi yang akan dilakukannya. Terkait hal ini, setidak-tidaknya calon investor akan mempertimbangkan aspek economic opportunity, political stability dan legal certainty.8 Ketiga aspek ini pulalah yang menjadi syarat mutlak yang harus ada pada host country agar menarik bagi calon investor. 

Cukup banyak analisis dan publikasi-publikasi tentang kondisi iklim investasi di Indonesia yang pada umumnya bermuara pada suatu kesimpulan yang sangat mengkhawatirkan tentang kondusifitas berinvestasi di Indonesia. Djisman S. Simanjuntak misalnya menyoroti gangguan keamanan, amuk penjarahan, ketidakpastian hukum, korupsi dan perselisihan perburuhan bergabung untuk memudarkan daya tarik Indonesia ketika di tempat-tempat lain muncul lokasi-lokasi yang bersinar cerah, khususnya Cina yang bersaing dengan Indonesia dalam kelompok-kelompok industri yang sama atau mirip. Pandangan lain disampaikan oleh Todung Mulya Lubis yang menyatakan bahwa selain kurang memadainya infrastruktur investasi, maka hambatan utama investasi di Indonesia adalah masalah kepastian hukum. Dikatakan bahwa pengadilan di Indonesia khususnya Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi sering dengan sengaja atau tidak mengabaikan isi perjanjian yang berlaku di antara pihak terkait, termasuk dalam sejumlah kasus di mana transaksi sudah dilaksanakan. Sikap lembaga peradilan yang kurang menghargai keabsahan kontrak kerja sama itu memberi sinyal negatif atas komitmen Indonesia dalam melaksanakan reformasi hukum dan penegakan keadilan. Sejumlah kasus, termasuk Manulife, Prudential, PT Danareksa Jakarta, PT Tripolyta, dan Asia Pulp & Paper serta anak perusahaannya, di Indonesia menggambarkan ketidakpedulian lembaga pengadilan terhadap legitimasi transaksi komersial yang dibuat berdasar perjanjian internasional. Kondisi ini menimbulkan dampak besar terhadap tingkat risiko Indonesia di pasar modal internasional dan atas arus modal langsung.10 Masih terkait dengan masalah kepastian hukum, Mc. Cawley menggambarkan kondisi kepastian hukum investasi di Indonesia sebagai berikut :
“Tiap regulasi sepertinya menimbulkan regulasi uraian yang lain sehingga pada akhirnya para pejabat rendah di kantor-kantor daerah dan pelabuhan merasa bebas-bahkan harus- menetapkan hal yang samara-samar dengan mengeluarkan regulasinya sendiri. Situasi yang biasanya tidak memuaskan ini sering kali dicampuri dengan tendensi pejabat senior untuk menerobos semua pita merah dan kelambatan dengan memberikan pembebasan dari peraturan atau dengan membuat keputusan umum sebagai undang-undang “yang dikehendaki”. Ketika ini terjadi seringkali tidak jelas apakah mereka mengungkapkan pernyataan mereka sendiri atau benar-benar menerapkan peraturan pemerintah.”

Pemerintah cukup memahami kondisi iklim investasi tersebut dan telah melakukan upaya-upaya kearah perbaikan. Bahkan upaya yang terakhir dilakukan cukup fundamental yakni dengan mengeluarkan undang-undang yang baru, UU No. 25 Tahun 2007, untuk menggantikan UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan UU No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri karena dipandang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan percepatan perkembangan perekonomian dan pembangunan hukum nasional, khususnya di bidang penanaman modal. Pasal 3 UU ini secara pasti mencantumkan asas kepastian hukum pada urutan pertama dari 10 asas penyelenggaraan penanaman modal di Indonesia. Hadirnya UU penanaman modal yang baru dengan paradigma baru merupakan langkah maju yang cukup signifikan dalam menarik minat investor. Namun meskipun demikian kehadiran UU No. 25 Tahun 2007 tersebut tidak serta menjadikan seluruh permasalahan hukum bidang penanaman modal di Indonesia menjadi terselesaikan. Kegiatan penanaman modal bersifat sangat kompleks dan karenanya tidak hanya terkait dengan satu undang-undang saja. Hukum tentang penanaman modal tidak hanya terkait UU No. 25 Tahun 2007 dan peraturan pelaksananya, tetapi juga akan terkait dengan bidang hukum lain seperti hukum perpajakan, hukum ketenagakerjaan, hukum pertanahan, hukum perdagangan dan bidang hukum lain terkait transaksi bisnis baik berdimensi nasional maupun internasional. Kepastian hukum harus meliputi seluruh bidang hukum terkait penanaman modal tersebut dan penerapannnya dalam putusan-putusan badan peradilan di Indonesia. Dengan demikian kepastian hukum tidak saja meliputi kepastian substansi hukum tetapi juga penerapannya dalam putusan-putusan badan peradilan. 

B. Kepastian Hukum sebagai Pertimbangan Utama Investor
Horikawa Shuji, salah seorang pengusaha asal Jepang menjelaskan pertimbangan investasi sebagai aliran air. Air selalu mengalir dari tempat yang paling tinggi ke tempat yang paling rendah. Apapun alasannya, pelaku bisnis selalu mencari itu, sebab pengusaha itu butuh ketenangan berusaha, berharap mendapat insentif yang memadai dari pemerintah dimana ia berinvestasi dan memperoleh peluang untuk berkembang dengan lingkungannya, dengan karyawannya dan dengan mitranya secara baik. Tanpa itu, sulit bagi pelaku bisnis untuk berkembang.14 Apa yang bisa membuat investor merasa tenang dalam berusaha adalah adanya kepastian hukum, karena dengan kepastian hukum investor dapat melakukan sejumlah prediksi terhadap rencana usaha yang dilakukannya.
Dengan demikian selain faktor politik ekonomi dan politik, faktor lain yang menjadi pertimbangan bagi investor untuk menanamkan modalnya adalah masalah kepastian dan prediktabilitas hukum. Pendapat senada dikemukakan oleh Paul V. Horn dan Henry Gomez sebagai berikut :
“ In making foreign investment a number of important points are to be taken into consideration. The Investor is concerned, first, with the safety of his investment and, second, with the return which it yields. The factors having a direct bearing on these considerations may be classified as follows : (1). Political stability and financial integrity in the borrowing or host country; (2) purpose for which the investment is made ; (3) laws pertaining to capital and taxation, attitude towards foreign investment, and other aspects of the investment climate of the host country; (4) future potential and economic growth of the country where the investment is made; (5) exchange restrictions pertaining to the remission of profits and with-drawal of the initial investment.”

Berdasarkan pandangan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa bila suatu negara ingin menjadi tujuan investasi, maka hukum terkait prosedural dan kegiatan investasi harus dapat menciptakan kepastian. Namun berbeda dengan kondisi ideal tersebut, hampir setiap kajian mengenai iklim investasi di Indonesia menempatkan ketidakpastian hukum sebagai faktor yang menghambat pertumbuhan investasi baik asing maupun dalam negeri, baik investasi langsung (direct investment) maupun portfolio investment. Studi Bank Dunia yang dipublikasikan tahun 2005 mencatat bahwa pada tataran perusahaan (firm level) ditemukan sejumlah hambatan investasi yang masuk dalam kategori instabilitas makro-ekonomi, kebijakan dan regulasi yang tidak pasti dan tingginya tingkat korupsi. Masalah lainnya meliputi rendahnya atau sulitnya akses terhadap pembiayaan, rendahnya supplay energi listrik, rendahnya skill tenaga kerja, regulasi bidang ketenagakerjaan, dan sejumlah persoalan terkait desentralisasi kewenangan investasi pada tingkat pemerintahan daerah.16 Lebih jauh dikatakan bahwa Pemerintah Indonesia telah melakukan sejumlah upaya reformasi yang cukup strategis dengan mengadopsi lebih banyak reformasi fiscal, liberalisasi perdagangan, reformasi sektor keuangan, perpajakan, ketenagakerjaan dan reformasi regulasi bisnis. Namun yang menjadi permasalahan adalah adanya jurang (gap) antara political will Pemerintah dengan implementasi di lapangan, termasuk adanya gap antara peraturan dengan kenyataan penerapannya.17 Pasal 3 UU No. 25 Tahun 2007 menempatkan asas kepastian hukum dalam posisi teratas dari 10 asas penyelenggaran penanaman modal di Indonesia. Asas ini menekankan pada kedudukan Indonesia sebagai negara hukum yang meletakkan hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai dasar dalam setiap kebijakan dan tindakan dalam bidang penanaman modal. Namun, masalah kepastian hukum dalam penyelenggaraan investasi tidak seluruhnya ditentukan oleh kaidah-kaidah hukum dalam UU tersebut. Kepastian hukum dalam pengertian substansi harus pula didukung pula oleh substansi hukum pada bidang hukum bisnis lainnya dan ditentukan pula aspek kepastian dalam struktur penegakan hukum. Dalam hal yang terakhir ini penerapan kaidah hukum dan peraturan perundang-undangan terkait investasi dalam peristiwa konkrit melalui putusan-putusan badan peradilan menjadi faktor sorotan adanya kepastian hukum. Pada perspektif ini dunia peradilanlah yang memberikan citra pada kepastian hukum tersebut.

Kepastian Hukum dalam Transaksi Bisnis Masih Menjadi Faktor Penghambat Investasi di Indonesia

Dalam hukum investasi, aktifitas investasi tidak hanya meliputi tahap entry appropal (right to entry) atau yang biasa dikenal dengan istilah green field investment, tetapi investor juga akan memperhatikan aspek kepastian hukum pada tahap post establishment stage atau brown field investment. Pada fase ini investor sangat perhatian terhadap sisi stabilitas, prediktibilitas dan kepastian hukum terkait aktifitas usaha, hukum kontrak dan transaksi bisnis pada umumnya. Hal ini sesuai dengan kategori komponen-komponen yang mempengaruhi investasi, yakni : (1). Kebijakan pemerintah yang mempengaruhi cost seperti pajak, beban regulasi, pungutan liar (red tape), korupsi, infrastruktur, ongkos operasi, investasi perusahaan (finance cost) dan investasi di pasar tenaga kerja; (2). Kelompok yang mempengaruhi risiko yang terdiri dari stabilitas makro ekonomi, stabilitas dan prediktibilitas kebijakan, property right, kepastian kontrak dan hak untuk mentransfer keuntungan dan (3). Hambatan untuk kompetisi yang terdiri dari hambatan regulasi untuk masuk dan keluar dari bisnis, berfungsinya pasar keuangan dan infrastruktur yang baik, serta tersedianya dengan efektif hukum persaingan.

Kepastian hukum dalam transaksi dan kontrak-kontrak bisnis di Indonesi masih rendah dan sangat mempengaruhi minat investor. Hal ini tercermin dari banyaknya kontrak antara investor asing dan pihak Indonesia, baik pelaku usaha, badan usaha milik negara maupun pemerintah yang dibatalkan atau terancam dibatalkan oleh pengadilan. Pembatalan kontrak oleh pengadilan yang kerap ditengarai adanya praktik mafia peradilan ataupun ketidakpahaman substansi kontrak berakibat pada terkendalanya investasi yang dilakukan. Banyak investor jangka panjang yang menanamkan modalnya harus kecewa karena baru dua tiga tahun berjalan,kontrak dibatalkan oleh pengadilan. Secara perhitungan ekonomi jelas ini sangat merugikan mengingat sebelum keuntungan didapat, bahkan break even point tercapai, kontrak dianggap tidak ada karena dibatalkan. Kesucian kontrak (sanctity of contract) seolah tidak berlaku di Indoensia.19 Investor sering mengalami kesulitan dalam menyelesaikan perjanjian kontrak dan pembayaran ketika mengikuti sistem hukum di Indonesia. Aneka keputusan persidangan sering tidak konsisten dalam menilai fakta dan bukti-bukti yang tersedia.  Selain itu, pengadilan di Indonesia khususnya Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi sering dengan sengaja atau tidak mengabaikan isi perjanjian yang berlaku di antara pihak terkait, termasuk dalam sejumlah kasus di mana transaksi sudah dilaksanakan. Sikap lembaga peradilan yang kurang menghargai keabsahan kontrak kerja sama itu memberi sinyal negatif atas komitmen Indonesia dalam melaksanakan reformasi hukum dan penegakan keadilan. Sejumlah kasus, termasuk Manulife, Prudential, PT Danareksa Jakarta, PT Tripolyta, dan Asia.

Kepastian Hukum dalam Transaksi Bisnis Masih Menjadi Faktor Penghambat Investasi di Indonesia

Dalam hukum investasi, aktifitas investasi tidak hanya meliputi tahap entry appropal (right to entry) atau yang biasa dikenal dengan istilah green field investment, tetapi investor juga akan memperhatikan aspek kepastian hukum pada tahap post establishment stage atau brown field investment. Pada fase ini investor sangat perhatian terhadap sisi stabilitas, prediktibilitas dan kepastian hukum terkait aktifitas usaha, hukum kontrak dan transaksi bisnis pada umumnya. Hal ini sesuai dengan kategori komponen-komponen yang mempengaruhi investasi, yakni : (1). Kebijakan pemerintah yang mempengaruhi cost seperti pajak, beban regulasi, pungutan liar (red tape), korupsi, infrastruktur, ongkos operasi, investasi perusahaan (finance cost) dan investasi di pasar tenaga kerja; (2). Kelompok yang mempengaruhi risiko yang terdiri dari stabilitas makro ekonomi, stabilitas dan prediktibilitas kebijakan, property right, kepastian kontrak dan hak untuk mentransfer keuntungan dan (3). Hambatan untuk kompetisi yang terdiri dari hambatan regulasi untuk masuk dan keluar dari bisnis, berfungsinya pasar keuangan dan infrastruktur yang baik, serta tersedianya dengan efektif hukum persaingan. 

Kepastian hukum dalam transaksi dan kontrak-kontrak bisnis di Indonesi masih rendah dan sangat mempengaruhi minat investor. Hal ini tercermin dari banyaknya kontrak antara investor asing dan pihak Indonesia, baik pelaku usaha, badan usaha milik negara maupun pemerintah yang dibatalkan atau terancam dibatalkan oleh pengadilan. Pembatalan kontrak oleh pengadilan yang kerap ditengarai adanya praktik mafia peradilan ataupun ketidakpahaman substansi kontrak berakibat pada terkendalanya investasi yang dilakukan. Banyak investor jangka panjang yang menanamkan modalnya harus kecewa karena baru dua tiga tahun berjalan,kontrak dibatalkan oleh pengadilan. Secara perhitungan ekonomi jelas ini sangat merugikan mengingat sebelum keuntungan didapat, bahkan break even point tercapai, kontrak dianggap tidak ada karena dibatalkan. Kesucian kontrak (sanctity of contract) seolah tidak berlaku di Indoensia.19 Investor sering mengalami kesulitan dalam menyelesaikan perjanjian kontrak dan pembayaran ketika mengikuti sistem hukum di Indonesia. Aneka keputusan persidangan sering tidak konsisten dalam menilai fakta dan bukti-bukti yang tersedia. 

Selain itu, pengadilan di Indonesia khususnya Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi sering dengan sengaja atau tidak mengabaikan isi perjanjian yang berlaku di antara pihak terkait, termasuk dalam sejumlah kasus di mana transaksi sudah dilaksanakan. Sikap lembaga peradilan yang kurang menghargai keabsahan kontrak kerja sama itu memberi sinyal negatif atas komitmen Indonesia dalam melaksanakan reformasi hukum dan penegakan keadilan. Sejumlah kasus, termasuk Manulife, Prudential, PT Danareksa Jakarta, PT Tripolyta, dan Asia Pulp & Paper serta anak perusahaannya, di Indonesia menggambarkan ketidakpedulian lembaga pengadilan terhadap legitimasi transaksi komersial yang dibuat berdasar perjanjian internasional. Kondisi ini menimbulkan dampak besar terhadap tingkat risiko Indonesia di pasar modal internasional dan atas arus modal langsung.20 Terintegrasinya ekonomi Indonesia dengan perekonomian dunia mendorong terjadinya internasionalisasi aktifitas bisnis yang kemudian menyebabkan beragamnya jenis transaksi bisnis. Para pelaku bisnis di Indonesia akan berhadapan dalam satu kontrak transaksi bisnis dengan mitra bisnis yang tidak saja berbeda sistem hukum nasionalnya tetapi juga berbeda kultur hukum. 

Transaksi bisnis internasional pada umumnya didasarkan pada kontrak yang telah disepakati oleh para pihak. Dengan adanya kontrak yang mengikat tersebut melahirkan keyakinan para pihak terhadap ekspektasi yang akan didapatkannya dari pelaksanaan kontrak tersebut. Dan untuk harapan tersebut para pihak bersedia menggunakan sumber daya yang dimilikinya sebagai imbalan harapan yang diinginkan tersebut. Untuk memastikan harapan para pihak tersebutlah kontrak yang diikat tidak saja sebagai sumber kewajiban moral, tetapi juga kewajiban hukum yang pelaksanaannya wajib ditaati.21 Sebagai konsekwensinya, maka hakim maupun pihak ketiga tidak boleh mencampuri isi perjanjian yang dibuat oleh para pihak tersebut. 

Bagi mitra bisnis yang berasal dari negara dengan kultur litigious kontrak adalah sesuatu yang suci dan harus dihormati, karena secara filosofis kontrak adalah perwujudan dari keinginan/ pilihan bebas manusia bermartabat. Pembatalan kontrak oleh pihak lain yang bertentangan dengan isi perjanjian adalah tindakan yang tidak rasional dan mencerminkan hilangnya perhargaan terhadap pilihan bebas manusia. Jika hal ini terus dibenarkan, maka fungsi predictability hukum akan hilang dan keadaan ini sama sekali tidak kondusif bagi kegiatan investasi.  Ketidakpastian hukum dalam transaksi bisnis sangat mempengaruhi keinginan investor berinvestasi, setidaknya karena dua hal : Pertama, tidak ada kegiatan investasi yang dapat dilaksanakan tanpa melakukan transaksi bisnis. Dengan kata lain kegiatan investasi adalah bagian dari transaksi bisnis (internasional. Kedua, karena pola internalisasi perusahaan-perusahaan multinasional yang selalu didahului oleh aktifitas transaksi bisnis internasional (khususnya perdagangan internasional). sebagian besar dari perusahaan multinasional cenderung untuk membangun aktifitas mereka di luar negeri dalam sebuah rentetan kegiatan yang terstruktur, khususnya dimulai dari ekspor, kemudian membangun sebuah kantor kecil perwakilan untuk menambah kekuatan penjualan, pemasaran dan distribusi operasi, dan pada akhirnya membangun sebuah investasi langsung dalam bentuk fasilitas produksi. internasional yang liberal dapat menciptakan iklim yang lebih menarik bagi perusahaan multinasional untuk memulai kegiatan ekspor mereka di negara host country. Peluang ini harus dimanfaatkan oleh host country dengan tersedianya rejim investasi yang bebas, jika tidak kemungkinan tahapan terakhir dari urutan strategi pengembangan bisnis perusahaan multinasional, yakni melakukan investasi langsung, akan dilakukan ke negara lain yang lebih dapat menjamin kepastian investasi mereka.

Kepastian Hukum dalam Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing terkait Transaksi Bisnis
Penyelesaian sengketa transaksi bisnis umumnya dilakukan secara konvensional melalui litigasi, akan tetapi implikasi kegiatan bisnis yang pesat terhadap lembaga hukum berakibat juga terhadap pengadilan, dimana pengadilan sering dianggap tidak professional dalam menangani sengketa bisnis dan tidak independen.25 Bagi kenayakan pelaku transaksi bisnis internasional, penyelesaian sengketa melalui pengadilan dianggap tidak efektif dan efisien lagi serta memerlukan waktu yang relative lama. Di samping itu, penyelesaian sengketa melalui pengadilan menempatkan para pihak pada sisi yang bertolak belakang, satu pihak sebagai pemenang (winner) dan pihak lain sebagai pihak yang kalah (looser). Hal ini kerap dipandang tidak menyelesaikan masalah bahkan semakin memperuncing perselisihan dan akhirnya terjadi permusuhan yang tidak berkesudahan. 26 Oleh karena itu, arbitrase lahir sebagai alternatif penyelesaian sengketa yang dinilai efisien dan efektif bagi transaksi bisnis, khususnya yang bernuansa internasional. 

Banyak faktor yang mendorong para pelaku transaksi bisnis internasional memilih arbitrase, diantaranya adalah karena putusan arbitrase bersifat final and binding dan karenanya cenderung siap untuk dilaksanakan, dan sifat arbitrase yang menjamin netralitas Dewan Arbitrase yang dipilih para pihak, artinya tidak mempunyai national character. Kedua alasan ini selalu menjadi pertimbangan pihak asing yang melakukan transaksi bisnis di Indonesia. Pertimbangan pertama lebih mengarah pada aspek kepastian hukum, dan pertimbangan kedua lebih ditujukan untuk menghindari kemungkinan terjadi nasionalisme sempit pada hakim pengadilan nasional.

Dalam sisitim hukum di Indonesia, karakteristik final and binding pada putusan arbitrase diakui secara imperative dalam Pasal 60 UU No. 30 Tahun 1999, karena tidak terbuka upaya hukum banding, kasasi maupun peninjauan kembali terhadap putusan tersebut. Namun pada kenyataannya, terdapat sengketa transaksi bisnis internasional yang telah diputus oleh badan arbitrase, khususnya badan arbitrase internasional, justru menimbulkan kontroversi dan pelaksanaan.
Sumber : usu.ac.id